
Bab 1: Ruang 207
Hujan mengguyur kota malam itu, deras dan berat, seolah langit pun sedang menumpahkan beban yang tak tertahankan. Di lantai dua sebuah rumah sakit swasta di Bandung, Adit berbaring di ranjang pasien dengan perban di kaki dan selang infus di lengan.
Kecelakaan motor seminggu lalu membuatnya harus istirahat total. Tapi bukan luka yang membuat malam-malam di ruang 207 terasa panas… melainkan wanita berseragam putih yang datang tiap malam dengan senyum lembut dan mata teduh itu.
Namanya Gita — suster malam, 29 tahun, anggun, tenang, dan berbahaya.
Bukan hanya karena dia terlalu cantik untuk rumah sakit, tapi karena cara dia berbicara… pelan dan menyusup ke dada. Cara dia menyentuh kulit Adit saat mengganti perban… terlalu halus, terlalu lama. Dan cara dia menatap… bukan sekadar profesional.
Adit tidak pernah bicara terlalu banyak, tapi matanya selalu mencari Gita.
Dan malam itu… Gita datang lebih lambat dari biasanya.
Pukul 23.45. Lampu utama sudah dipadamkan, hanya lampu baca di dekat ranjang yang menyala redup. Adit sudah hampir tertidur ketika pintu diketuk pelan.
Tok… tok…
Pintu terbuka, dan Gita masuk—dengan langkah tenang dan suara sepatu lembut menyentuh lantai keramik. Rambutnya kali ini tidak diikat penuh seperti biasa. Ada helaian yang jatuh di bahunya, memberi kesan lebih… intim.
“Maaf ya, Mas Adit. Tadi di IGD agak ramai,” katanya pelan sambil tersenyum.
“Gak apa-apa, aku udah nungguin,” jawab Adit, jujur tapi dengan suara yang dijaga.
“Udah nungguin suster atau obat malamnya?” godanya sambil membuka baki kecil berisi alat suntik dan kapas.
Adit hanya tersenyum. Tapi pandangan matanya berkata lebih dari itu.
“Boleh aku buka selimutnya sedikit?” tanya Gita saat hendak menyuntikkan obat ke paha bagian atas.
Adit mengangguk. Perlahan, selimut tersingkap. Gita menyentuh kulitnya—dingin karena alkohol, lalu hangat karena kulit tangan Gita sendiri.
Dia tahu. Dia sadar. Sentuhan itu lebih lama dari yang seharusnya. Tapi tak satu pun dari mereka menarik diri.
Setelah selesai menyuntikkan obat, Gita tidak langsung berdiri. Dia duduk di tepi ranjang. Tangannya tetap di paha Adit, dan matanya bertemu dengan matanya.
“Mata kamu… selalu menatap aku seperti itu sejak hari pertama,” bisiknya. “Kenapa?”
Adit menarik napas dalam. Suasana terlalu tenang. Hujan masih turun di luar, tapi di dalam ruangan itu… ada badai yang siap pecah.
“Aku nggak tahu… atau mungkin tahu. Tapi nggak berani bilang.”
“Sekarang udah cukup malam buat kamu jujur,” jawab Gita, wajahnya makin dekat. “Apa yang kamu pikirkan… tentang aku?”
Adit menelan ludah, lalu berkata dengan suara rendah, “Kalau aku bukan pasienmu… aku pasti udah cium kamu dari tadi.”
Dan Gita hanya tersenyum. Tipis. Membiarkan kalimat itu menggantung… sebelum akhirnya berdiri dan berbisik:
“Kalau begitu… cepat sembuh.”