RAHASIA ANTARA AKU DAN SAHABAT IBUKU : BAGIAN 4

Bab 4: Ketika Ibu Pulang – Awal dari Ketegangan

Pagi datang terlalu cepat.

Sinar matahari menyelinap malu-malu melalui celah gorden kamar. Tapi tidak ada yang lebih menyadarkan daripada suara pintu depan terbuka… dan langkah kaki ibuku yang baru kembali dari perjalanan.

Aku langsung duduk di tempat tidur. Di sebelahku, Tante Rina sudah terbangun. Rambutnya berantakan, matanya masih lelah, tapi ekspresinya berubah panik.

“Dia pulang,” bisiknya cepat.

Tanpa pikir panjang, dia langsung bangkit dan merapikan rambutnya. Aku ikut berdiri, membantu membereskan selimut. Rasanya seperti dua pencuri yang tertangkap basah di rumah sendiri.

“Tante ke kamar dulu, ya,” katanya pelan. “Nanti kita bicara lagi.”

Aku hanya mengangguk. Dia melangkah keluar cepat, hati-hati agar tidak menarik perhatian siapa pun. Beberapa detik kemudian, terdengar suara riang ibu memanggil:

“Rinaaa! Kamu belum pulang juga? Waduh, bener-bener betah di rumah ya!”

“Maklum, rumahmu enak banget buat istirahat,” jawab Tante Rina dari ruang tengah, nadanya cepat pulih seperti biasa. Seolah semalam tak terjadi apa-apa.

Tapi di dalam dada, aku tahu segalanya sudah berubah.

Sepanjang hari, aku nyaris tak bicara dengan ibu. Kami hanya bertukar obrolan ringan soal kampus dan urusan rumah. Tapi mataku terus mencuri pandang ke arah Tante Rina.

Dan yang membuat semuanya semakin tegang — dia juga terus mencuri pandang ke arahku.

Ada satu momen ketika ibu sedang di dapur, dan aku berdiri di koridor. Tante Rina melintas dan dengan cepat menyentuh tanganku… hanya sekilas, tapi cukup untuk membuat jantungku berdegup liar lagi.

“Malem ini… kalau kamu masih mau,” bisiknya singkat. “Kita ketemu lagi.”

Aku tak menjawab. Tapi mataku mengiyakan semuanya.

Malam hari, ibu sudah tidur lebih dulu. Rumah kembali tenang. Gelap. Sunyi.

Aku duduk di ruang tamu, hanya dengan kaus tipis dan celana pendek. Jantungku berdebar kencang seperti malam sebelumnya. Dan saat pintu kamar tamu terbuka pelan… dia muncul.

Tante Rina.

Kali ini dia mengenakan dress tidur berwarna biru tua, tipis dan lembut, dengan rambutnya yang dibiarkan tergerai panjang. Wajahnya menatapku seperti seseorang yang tahu ini salah, tapi sudah terlalu jauh untuk mundur.

Dia duduk di sampingku. Tidak ada kata. Hanya napas. Hanya getaran dari kulit yang nyaris bersentuhan.

“Apa kamu… masih yakin?” tanyanya pelan.

Aku mengangguk. “Lebih dari semalam.”

Dia menatapku, lalu tangannya meraih jemariku. Menggenggam erat.

“Tapi ingat,” katanya dengan suara serak. “Kalau rahasia ini ketahuan… semua bisa hancur.”

Aku menatapnya dalam. “Maka itu… jangan pernah lepaskan aku duluan.”

Scroll to Top