RAHASIA ANTARA AKU DAN SAHABAT IBUKU : BAGIAN 3

Bab 3: Ujian di Tengah Malam – Antara Rasa dan Batasan

Malam itu, hujan akhirnya mereda, tapi pikiranku tidak.

Aku kembali ke kamar setelah percakapan di jendela itu, mencoba memaksa diri tidur. Tapi tubuhku gelisah. Kata-kata Tante Rina terus mengalun di kepala. Sentuhan jemarinya di pipiku seolah meninggalkan bara yang tidak padam.

Pukul 01.27 dini hari. Hening. Lampu kamar remang. Aku menatap langit-langit dengan jantung yang masih berdegup tak karuan.

Tiba-tiba… ada ketukan di pintu kamarku.

Tok… tok…

Aku menegakkan tubuh. Napas menahan. Hanya satu orang yang mungkin melakukannya.

“Farel…?” suara pelan dari balik pintu. “Kamu masih bangun?”

Suara itu milik dia. Tante Rina.

Tanpa menjawab, aku membuka pintu. Dan di sana dia berdiri—dengan sweater longgar dan celana pendek. Rambutnya dibiarkan tergerai, wajahnya tanpa makeup, dan ada kilau resah di matanya.

“Aku nggak bisa tidur,” katanya. “Kamu… juga?”

Aku hanya mengangguk.

Dia melangkah masuk tanpa menunggu izin. Duduk di pinggir ranjangku. Tangannya menyentuh selimut. Lalu menatapku. “Kamu marah sama Tante?”

Aku duduk di sampingnya. “Nggak. Aku cuma bingung. Ini semua… terlalu cepat.”

Dia tersenyum tipis, pahit. “Aku juga takut. Tapi kalau rasa ini kita pendam terus, nanti jadi luka.”

Kami terdiam beberapa saat. Lalu perlahan, dia bersandar ke bahuku. Bahunya hangat. Tubuhnya bergetar sedikit. Mungkin karena dingin. Atau… karena hal lain yang tak bisa dijelaskan.

“Kalau kamu nggak ingin ini berlanjut, Tante bisa berhenti,” katanya nyaris berbisik.

Aku menoleh ke arahnya. Menatap mata itu. Matanya… penuh luka, tapi juga harap.

“Aku nggak mau kamu pergi,” jawabku.

Dan tepat setelah itu, bibir kami bersentuhan.

Bukan ciuman penuh nafsu. Tapi pelan. Dalam. Seolah rasa yang selama ini dipendam, akhirnya menemukan tempat untuk keluar.

Kami tidak tidur malam itu.

Bukan karena tubuh, tapi karena perasaan. Karena kehangatan yang tak pernah kami temukan di tempat lain. Kami hanya berbaring bersebelahan, saling menggenggam tangan di bawah selimut, memandangi langit-langit kamar yang gelap.

Tante Rina menghela napas. “Besok pagi ibumu pulang.”

Aku mengangguk. “Aku tahu.”

Dia memandangku dalam. “Kalau kamu siap… kita jalani ini diam-diam. Tapi kalau kamu ragu, lebih baik sekarang kita berhenti.”

Aku menatapnya lama. Hati dan akal mulai bertarung dalam diam.

“Aku nggak tahu kemana ini akan pergi,” kataku. “Tapi aku tahu satu hal… aku mau tetap sama kamu.”

Scroll to Top