
Sebuah kisah tentang dua jiwa dewasa yang tak saling memiliki,
tapi saling menggenggam dalam diam.
Tentang cinta yang salah menurut dunia…
namun benar menurut rasa.
Bagian 1: Bertemu di Antara Sepi
Aku bertemu dengannya bukan di tempat yang megah.
Bukan di pesta penuh lampu gantung atau konser yang gaduh.
Aku bertemu dengannya… di antara sepi.
Kafe kecil di sudut kota. Hujan gerimis.
Satu bangku tersisa, dan dia duduk di depanku karena kehabisan ruang lain.
“Boleh?” katanya.
Aku hanya mengangguk, menurunkan headset.
Matanya tajam. Tapi tidak menghakimi.
Cara dia menggenggam cangkir kopinya membuatku berpikir:
dia punya cerita yang disembunyikan. Sama sepertiku.
Kami tidak bicara malam itu.
Tapi keheningan yang kami bagi terasa lebih hangat dari perkenalan biasa.
Dan ketika dia berdiri untuk pergi, dia menatapku sesaat…
lalu tersenyum, pelan — seperti orang yang ingin berkata:
“Kalau semesta baik, kita akan bertemu lagi.”