Bagian 7: Sisa Rasa
Dua tahun telah berlalu.
Reza kini hidup lebih tenang.
Ia tetap bersama istrinya,
berusaha menjadi pria yang lebih hadir,
lebih jujur,
meski di dalam dirinya…
ada ruang kecil yang tetap kosong.
Sementara Kirana tinggal di sebuah apartemen kecil di bilangan Cikini.
Ia menulis. Menjadi freelance creative consultant.
Dan tak pernah kembali ke rumah lamanya.
Tidak satu pesan pun lagi mereka kirimkan.
Tidak ada “kamu apa kabar”, tidak ada “masih ingat kamar itu?”
Tapi di dalam dada masing-masing,
mereka tahu…
perasaan itu tidak pernah mati.
Hingga suatu sore…
Reza sedang menghadiri seminar branding untuk klien barunya.
Ia datang hanya untuk menyimak,
tapi saat sesi diskusi dibuka…
seorang wanita berdiri dari barisan belakang, memegang mic.
“Selamat sore, saya Kirana. Saya ingin mengajukan satu pertanyaan…”
Reza menoleh cepat.
Dunia tiba-tiba jadi hening.
Kirana mengenakan blazer biru tua. Rambutnya kini sebahu.
Tatapannya dewasa. Tenang.
Tapi saat mata mereka bertemu…
semua rasa kembali menguap dari kedalaman waktu.
Setelah sesi usai, mereka bertemu di taman belakang gedung.
Tak ada pelukan.
Tak ada tangan yang saling mencari.
Hanya duduk di bangku panjang,
ditemani suara angin dan senja yang mulai tenggelam.
“Kamu kelihatan lebih bahagia,” kata Reza.
“Aku belajar… bahagia itu kadang bukan dari siapa kita miliki. Tapi dari apa yang kita lepaskan.”
“Dan kamu… sudah melepas aku?”
Kirana tersenyum. Lalu menatap langit.
“Belum sepenuhnya. Tapi aku tidak lagi berharap kamu datang.”
Reza menatap tangannya, lalu ke wajah wanita yang dulu pernah ia genggam dengan seluruh jiwanya.
“Kalau aku datang malam ini ke apartemenmu… kamu akan bukakan pintu itu?”
“Enggak.”
“Kenapa?”
“Karena kita bukan lagi dua orang yang bersembunyi. Sekarang kita dua orang dewasa yang tahu: rasa tak harus selalu dimiliki.”
Senja makin tua.
Dan sebelum mereka berpisah lagi,
Kirana berkata:
“Terima kasih, Reza. Karena dulu… kamu pernah membuatku merasa hidup.”
“Dan kamu,” bisik Reza, “pernah jadi satu-satunya yang membuat aku bertanya… apakah aku layak dicintai tanpa syarat.”
EPILOG
Mereka berjalan menjauh.
Berbeda arah.
Tapi langkah mereka sama-sama ringan.
Karena kini mereka tahu —
rasa yang tidak selesai… bukan berarti tak pernah berarti.
Dan mungkin, dalam kehidupan lain…
di dunia yang lebih adil…
mereka bisa bersama.Tapi untuk sekarang —
cukup dengan tahu bahwa
cinta itu pernah ada.