Bagian VI: MENCINTAI ISTRI ORANG LAIN

Bagian 6: Dan Cinta Itu… Tetap Bernapas, Meski Tak Berjalan

Waktu berjalan seperti biasa.

Minggu berganti bulan.
Dan kafe itu, yang dulu menjadi ruang rahasia,
kini hanya tempat biasa dengan suara cangkir dan musik jazz pelan.

Aku duduk sendiri beberapa kali. Tapi tidak berharap apa-apa.
Karena harapan, dalam cinta seperti ini,
adalah cara paling pelan untuk menyiksa diri.

Setiap malam, aku membaca ulang catatan yang kutulis tentang Aruna.
Tentang gelak tawanya yang pelan,
tentang caranya menahan air mata dengan senyum.
Dan tentang tatapan yang mengatakan segalanya tanpa satu kata pun.

Tapi aku belum membuka surat yang dia tinggalkan.

Karena kadang… kita tidak membaca sesuatu bukan karena takut kecewa,
tapi karena kita belum siap untuk menutup bab yang kita cintai terlalu dalam.

Beberapa kali, aku melihatnya di sudut kota.
Sendirian. Membawa buku. Duduk di halte.
Tapi aku tak pernah menyapa. Dan dia pun tidak.

Kami… bukan lagi bagian dari hidup satu sama lain.
Tapi kami adalah bagian dari yang tak pernah bisa dihapus dari ingatan.

Suatu malam, ketika hujan deras mengguyur kota,
aku kembali ke kamar — basah, lelah, dan kosong.

Dan aku membuka surat itu.

✉️ Surat dari Aruna:

Malam itu, aku tidak pergi karena aku ingin.
Aku pergi karena aku tahu… jika aku tinggal, kita akan hancur bersama-sama.

Bukan karena cinta kita salah,
tapi karena cinta ini terlalu besar untuk dunia yang kecil seperti ini.

Tapi kamu harus tahu satu hal…

Aku mencintaimu. Dalam diam. Dalam rindu yang tak bisa diumumkan.
Dalam ruang kecil bernama “seandainya”.

Dan jika suatu hari nanti kamu merasa sendirian di antara keramaian,
ingatlah: di suatu tempat, seseorang pernah menyebut namamu… sebagai rumah.
Aku menangis malam itu.
Bukan karena kehilangan. Tapi karena aku tahu cinta kami tidak hilang.
Ia hanya memilih bentuk lain — menetap di hati, bukan di kehidupan.

Scroll to Top