Bagian 5: Saat Aku Ingin Pergi, Kamu Malah Datang
Aruna mengirim pesan pendek malam itu:
“Aku harus berhenti. Kita harus selesai.”
Tidak ada emoji. Tidak ada titik.
Tapi rasanya seperti peluru.
Aku tidak langsung membalas.
Karena apa yang bisa kukatakan untuk melawan kenyataan?
Kami bukan pasangan.
Kami bahkan tak pernah saling memiliki.
Tapi kehilangan dia… terasa lebih menyakitkan dari kehilangan siapa pun yang pernah benar-benar jadi milikku.
Keesokan malamnya, aku kembali ke kafe yang sama.
Kursi kami kosong. Lampu remang.
Barista yang biasa menyapa hanya tersenyum, seolah tahu — seseorang takkan datang malam ini.
Aku duduk sendiri. Memesan kopi.
Membiarkan rasa bersalah dan kehilangan bercampur jadi satu.
Tapi justru ketika aku ingin belajar merelakan…
Aruna datang.
Dia berdiri di ambang pintu. Jaket lusuh. Tanpa riasan. Wajahnya lelah.
Tapi matanya… menyala. Seperti orang yang sedang melawan logika dengan hati yang belum menyerah.
Dia berjalan pelan ke arahku.
Duduk. Dan diam.
“Aku mau pergi malam ini,” katanya akhirnya.
“Ke mana?”
“Ke mana pun yang jauh dari kamu.”
Aku mengangguk. Karena apa lagi yang bisa kulakukan selain menghormati luka yang dia bawa?
Tapi sebelum dia pergi…
dia mengeluarkan selembar kertas dari tasnya. Dilipat rapi. Diselipkan ke bawah cangkirku.
“Kalau kamu benar-benar pernah mencintaiku…
jangan baca sekarang.
Baca saat kamu siap mengerti kenapa aku harus memilih pergi.”
Lalu dia berdiri.
Melangkah keluar. Tanpa menoleh.
Aku tak membuka surat itu malam itu.
Aku menyimpannya dalam buku jurnal, di antara catatan tentang hari-hari kami.
Dan malam pun lewat… tanpa suara. Tanpa sentuhan. Tanpa Aruna.Tapi di dalam dadaku —
namanya masih tinggal.