(Bagian 5: Mengikhlaskan Adalah Bentuk Cinta yang Tertinggi)
Waktu berlalu. Seperti air yang mengalir, ia tak bisa dicegah. Tapi seperti luka, beberapa hal tidak hilang begitu saja — mereka hanya berubah bentuk.
Aku sudah tidak lagi bertemu Pak Doni. Ia masih mengajar, tentu saja. Tapi aku sudah tidak mengambil mata kuliah apa pun darinya. Tidak ada lagi alasan formal untuk bertemu, dan aku memilih tidak menciptakan alasan yang dibuat-buat.
Aku sudah tidak menulis tentang beliau di jurnalku — setidaknya, tidak sesering dulu. Bukan karena perasaan itu hilang, tapi karena aku perlahan belajar untuk menerima kenyataan bahwa tidak semua rasa harus diwujudkan dalam kata-kata. Ada perasaan yang lebih baik disimpan rapat, sebagai harta karun batin yang tidak perlu diumbar.
Tapi aku juga tidak menyangkal bahwa beliau pernah menjadi bagian besar dari hidupku.
Dari semua yang pernah aku lewati, Pak Doni adalah salah satu orang yang membentuk versiku yang sekarang: lebih dewasa, lebih peka, lebih tahu cara menempatkan hati. Aku belajar mencintai tanpa merusak. Mengagumi tanpa menuntut. Dan memberi tanpa harus memiliki.
Kadang aku masih bertanya-tanya… bagaimana jika aku dulu jujur saja? Bagaimana jika aku pernah menyampaikan isi hatiku, meskipun pelan, walaupun hanya setengah? Tapi setiap kali pertanyaan itu muncul, aku selalu kembali ke satu jawaban yang membuatku tenang:
“Aku tidak perlu tahu perasaannya untuk tetap menghargai keberadaannya.”
Dan mungkin memang seperti itu cinta yang sesungguhnya — tidak selalu tentang memiliki, tidak selalu tentang akhir yang bahagia bersama. Kadang, cinta adalah tentang menghargai seseorang dari kejauhan. Menjaga kenangan tanpa merusaknya. Membiarkan seseorang tetap bersinar, meski tak bersamamu.
Kini aku duduk di sebuah kafe kecil di Bandung, tempat favoritku sejak semester dua. Di depanku ada laptop, kopi latte yang hampir dingin, dan halaman jurnal digital yang baru saja kubuka lagi setelah lama tak tersentuh.
Aku tersenyum sendiri saat membaca halaman pertamaku tentang beliau:
“Aku tidak tahu kenapa, tapi setiap kali ia masuk kelas, rasanya dunia jadi lebih hidup.”
Dan sekarang, dunia itu tetap hidup — meski tanpa kehadirannya.
Aku mulai memikirkan masa depan. Magangku sudah hampir selesai, skripsi mulai kuperjuangkan dengan serius. Impian untuk menjadi seorang brand strategist di perusahaan besar kini lebih dekat dari sebelumnya. Dan yang terpenting… aku merasa lebih kuat dari versi Shella yang dulu.
Kadang, dalam hidup, kita tidak selalu mendapatkan apa yang kita inginkan. Tapi kita selalu mendapatkan apa yang kita butuhkan untuk tumbuh.
Dan untukku, Pak Doni adalah bagian dari itu. Ia datang dalam hidupku bukan untuk dimiliki, tapi untuk membentuk — seperti buku yang hanya kubaca sekali, tapi isinya tertanam selamanya dalam ingatan.
Penutup
Aku, Shella, seorang mahasiswi dari Bandung yang pernah menyukai dosennya. Sebuah cerita yang mungkin terdengar klise, atau bahkan tabu bagi sebagian orang. Tapi bagiku, ini adalah kisah nyata. Sebuah fase yang membuatku belajar tentang diri sendiri, tentang rasa, dan tentang bagaimana cinta tak selalu harus disuarakan keras-keras.
Terima kasih, Pak Doni. Atas setiap pelajaran, perhatian, dan waktu singkat yang pernah membuat hariku terasa lebih bermakna.
Kini, aku berjalan maju — bukan dengan hati yang kosong, tapi dengan hati yang telah penuh… oleh pelajaran yang tak ternilai.
Dan bila suatu hari aku bertemu dengan cinta yang baru, aku akan menyambutnya dengan versi Shella yang lebih kuat, lebih dewasa, dan lebih berani.Karena aku tahu…
pernah mencintai tanpa harus memiliki adalah salah satu kemenangan paling sunyi — tapi paling tulus — yang pernah kurasakan.