Bagian 5: Saat Takdir Bertemu Kembali
Tiga tahun telah berlalu.
Aku, Ronny, kini duduk di bangku perkuliahan. Semester lima.
Sudah tak lagi menjadi anak SMA, sudah tak lagi mengenakan seragam putih abu-abu.
Tapi satu hal belum pernah benar-benar kutinggalkan:
Bayangan tentang Bu Santi.
Setiap kali aku melewati ruang laboratorium kampus,
setiap aroma parfum wanita dewasa tercium samar…
otakku seketika memutar ulang kenangan itu.
Sentuhan di ruang tamu.
Suara napasnya di antara detik jam dinding.
Dan surat terakhirnya… yang masih kusimpan hingga sekarang.
Hari itu…
Aku menghadiri seminar pendidikan di kampus.
Pembicara tamunya: para guru, psikolog, dan dosen dari berbagai kota.
Aku nyaris tak tertarik, sampai sebuah suara memperkenalkan pembicara berikutnya:
“Selanjutnya, mari kita sambut: Santi Maharani, mantan guru, kini peneliti hubungan emosi dalam ruang kelas dan pembelajaran efektif.”
Aku terpaku.
Nama itu. Suara itu.
Dan saat langkah kaki terdengar menuju podium… aku tak bisa bernapas.
Dia berdiri di sana.
Berbeda, tapi tetap sama.
Kini mengenakan blazer krem dan rok panjang sederhana. Rambutnya diikat. Wajahnya lebih dewasa. Tapi… mata itu tetap menatap dengan cara yang hanya aku kenal.
Santi.
Guru IPA-ku.
Presentasinya berjalan 20 menit. Tapi aku tak dengarkan satu pun materinya.
Aku hanya menatap.
Mencari isyarat.
Apakah dia mengenaliku?
Dan di akhir presentasi,
saat mata kami bersilangan untuk satu detik…
dia berhenti bicara.
Tangan kirinya sedikit gemetar.
Tapi dia tersenyum.
Dan melanjutkan presentasinya seolah tak terjadi apa-apa.
Setelah acara selesai…
Aku menunggu di lorong belakang aula.
Tak yakin dia akan datang melewati sana. Tapi entah kenapa, kakiku tak mau pergi.
Lalu…
Langkah kaki kecil.
Suara hak tinggi menyentuh lantai.
Aroma lavender. Yang tak pernah berubah.
Aku menoleh.
Dan di sana dia berdiri.
Satu meter dariku.
Tanpa kata.
“Ronny,” katanya.
“Kamu… sudah tumbuh dewasa.”
“Dan kamu…” suaraku berat, “masih sama seperti dulu.”
Hening.
Lalu dia tertawa kecil. Suara yang dulu menenangkanku saat aku salah jawab soal IPA.
“Aku pikir kamu tidak akan ingat aku.”
“Aku gak pernah lupa. Bahkan kalau aku berusaha.”
Kami berdiri terlalu dekat.
Tapi tak satu pun berani menyentuh.
Karena kami tahu, jika malam ini kita bicara terlalu lama…
rasa itu akan kembali hidup.
Dan mungkin… tak bisa dihentikan lagi.
“Apa kamu masih di Bandung?”
“Sementara, iya. Tapi habis ini aku akan ke luar negeri, untuk fellowship satu tahun.”
“Jadi… kita ketemu hanya untuk berpisah lagi?”
Dia diam.
Lalu mengangguk.
“Mungkin memang begini cara semesta mengatur kita.”
“Atau mungkin,” kataku sambil tersenyum, “semesta cuma ingin tahu… apakah rasa yang kita simpan dulu… masih bisa kita tahan sekarang.”
Santi menatapku dalam.
Lalu mendekat.
Hanya sejengkal dari wajahku.
Tangannya menyentuh pipiku.
Seperti malam itu.
Seperti dulu.
“Kalau aku cium kamu sekarang,” bisiknya, “apa kamu masih akan biarkan aku pergi?”
Aku memejamkan mata.
Dan menjawab… tanpa suara.
Tapi dia tidak menciumnya.
Dia hanya tersenyum.
Menarik tangan perlahan.
Lalu berbalik pergi.
Dan aku berdiri di sana.
Dengan dada yang kembali sesak.
Tapi kali ini bukan karena kehilangan.
Melainkan karena akhir yang tidak pernah benar-benar berakhir.