Bagian 4: Dunia Tak Pernah Ramah pada Kita
Dunia tak pernah tahu bagaimana kami bertahan.
Karena dari luar, kami tampak seperti dua orang biasa di kafe kecil yang terlalu sering kebetulan bertemu.
Tak ada yang tahu betapa sering aku menahan diri untuk tidak menyentuh jemarinya.
Atau betapa sering Aruna menarik napas panjang ketika aku menatap matanya terlalu lama.
Dunia melihat kami… dan mengira tak ada apa-apa.
Padahal di dalam diri kami, badai sedang berputar liar.
Suatu hari, Aruna datang lebih dulu dari biasanya.
Wajahnya pucat. Rambutnya tak disisir rapi seperti biasa.
Dan dia tak pesan apa-apa. Hanya duduk. Dan menatapku lama.
“Suamiku tahu aku menyimpan rahasia,” katanya pelan.
“Apa yang kamu bilang?” tanyaku, panik.
“Tidak ada. Tapi diam pun bisa jadi jawaban, kan?”
Ia menggenggam cangkir kosong. Jemarinya gemetar.
Aku ingin menyentuhnya. Menenangkan. Tapi aku tak bisa.
Karena cinta kami tak punya izin untuk terlihat.
Kami tak bertemu selama dua minggu setelah itu.
Dan dua minggu itu… terasa seperti dua tahun.
Ponselku sunyi. Tidak ada pesan. Tidak ada sapa.
Tapi setiap malam aku melihat notifikasi kosong…
aku tahu, aku sedang merindukan sesuatu yang tidak boleh aku punya.
Lalu, suatu malam, aku mendengar lagu dari kafe kami, di IG Story seseorang.
Dan aku tahu… dia ada di sana.
Aku datang.
Dan dia sedang duduk sendirian.
Menyendiri. Dengan jaket hitam. Rambutnya diikat. Wajahnya sendu.
“Aku nggak tahu kenapa kamu datang,” katanya.
“Aku juga gak tahu kenapa aku di sini,” jawabku.
“Tapi kamu datang,” katanya.
“Dan kamu tetap menunggu,” jawabku.Dan kami tahu… meskipun dunia tak ramah, kami tetap menemukan jalan kembali.