Bagian IV: Dalam Diam Aku Menginginkannya

Bab 4 – Ketika Dinding Tak Lagi Mendengar

Jam menunjukkan pukul 11 malam.
Hujan turun deras. TV menyala tapi volumenya kecil.
Dan aku duduk di ruang tengah… sambil menunggu sesuatu yang tak kumengerti.

Lalu langkah kaki itu datang.
Pelan. Teratur. Berani tapi pura-pura tidak sengaja.

Maya keluar dari kamarnya dengan handuk di kepala. Rambutnya basah.
Dasternya sama seperti tadi, tapi kini tubuhnya tampak lebih lembut dibalut basah dan dingin.
Ia berjalan ke dapur… lalu berhenti. Menoleh.

“Mau teh, Pak?”

Aku mengangguk.
Bukan karena ingin teh. Tapi karena ingin dia tetap berdiri di sana — lama.

Dia membuat teh tanpa suara.
Tapi tubuhnya… bercerita.

Gerakan lengannya pelan.
Kakinya berdiri sedikit miring.
Dan saat ia berbalik membawa gelas… matanya tak lagi menunduk.

Ia duduk di seberang sofa.
Mengangkat gelas perlahan. Minum.
Dan berkata, dengan nada pelan:

“Kalau saya bukan pembantu di rumah ini…
dan Bapak bukan suami orang…
apa Bapak bakal cium saya malam ini?”

Pertanyaannya tidak membuatku kaget.
Karena diam-diam, aku menunggu ia mengucapkannya.

Aku tak menjawab. Hanya menatap.
Dan dia balas menatap.
Lama. Dalam. Seolah kami sedang bicara lewat keinginan yang tak sempat dilahirkan.

“Maya…”
“Iya?”
“Kamu tahu kamu berbahaya?”

Dia tersenyum lagi.
Kecil. Nyaris seperti ejekan halus.

“Kadang yang kelihatan paling diam… justru yang paling tahu caranya menggoda.”

Malam itu…
kami tidak tidur bersama.
Tidak ada ciuman. Tidak ada kulit yang bersentuhan.Tapi aku tidur dengan bayangan Maya yang duduk…
memegang teh…
dan mengatakan bahwa jika hidup ini sedikit lebih liar,
kami sudah melewati batas itu.

Scroll to Top