Bagian III : SKANDAL DI TEMPAT KERJA

Bagian 3: Makan Siang, Makan Rasa

Setelah malam lembur itu, segala sesuatu berubah tanpa perlu dibicarakan.

Kirana dan Reza masih bertegur sapa seperti biasa,
masih rapat dengan tim,
masih membalas email dengan nada profesional.
Tapi setiap kali mata mereka bertemu…
ada bahasa yang tak bisa dibaca orang lain.

Dan saat jam makan siang tiba…
Kirana mengirim satu pesan:

“Di tempat biasa. Lantai 18. 12:45.”

Tempat biasa?
Ya. Sudah tiga kali mereka “kebetulan” makan di kafe rooftop di gedung sebelah,
yang jauh dari kolega kantor,
dan cukup sunyi untuk… bicara hal yang tak pantas dibicarakan di pantry kantor.

Siang itu, Kirana datang lebih dulu.
Dress abu-abu, high heels, kacamata hitam. Terlihat seperti eksekutif muda yang sedang menunggu klien.
Tapi Reza tahu,
ia sedang menunggu seseorang yang lebih berbahaya dari klien: seseorang yang bisa mengguncang hidupnya.

“Pernah mikir nggak,” kata Kirana sambil menyeruput lemon tea, “kalau kita ketahuan… apa yang akan kamu lakukan?”

“Mengundurkan diri. Langsung.” jawab Reza.
“Tapi… aku juga akan bilang ke kamu dulu. Supaya kita… bisa kabur bareng.”

Kirana tertawa, pelan. Tapi matanya berkaca.

“Kamu serius?”
“Aku bahkan belum pernah ngomong kayak gini ke istriku.”

Setelah makan, mereka tidak langsung pulang ke kantor.

Reza menyewa satu ruangan kecil di coworking space di gedung itu —
dengan alasan ‘meeting klien’, padahal… tak ada klien.

Hanya ada sofa, cahaya redup, dan dua tubuh yang selama ini terlalu sering menahan sentuhan.

“Kirana,” suara Reza nyaris bergetar, “kita nggak harus lakukan ini…”

“Tapi aku sudah menunggu terlalu lama…” jawab Kirana sambil membuka sepatunya.
“Aku butuh tahu… bahwa semua rasa ini bukan cuma di kepala.”

Dan siang itu,
untuk pertama kalinya sejak mereka mengenal…
mereka berhenti menahan.

Tak ada panggilan kerja.
Tak ada suara notifikasi.
Yang ada hanya napas cepat, kulit bertemu kulit, dan kerinduan yang akhirnya dilepas tanpa malu.

Saat selesai, Kirana berbaring di dada Reza.“Kita akan menyesal,” bisiknya.
“Tapi aku tidak ingin hidup tanpa pernah merasa… diinginkan seperti ini.”

Scroll to Top