Hari-hari berlalu, dan aku mulai hidup dalam ritme yang aneh: antara harapan dan penyangkalan. Aku tahu perasaan ini terlalu berisiko untuk diungkapkan, tapi terlalu dalam untuk disembunyikan.
Pak Doni masih menjadi sosok yang sama — sopan, santai, penuh perhatian. Tapi kini, setiap kata dan sikapnya padaku terasa ambigu. Apakah itu bentuk perhatian tulus dari seorang dosen kepada mahasiswanya, atau ada makna tersembunyi di baliknya?
Aku mulai memperhatikan hal-hal kecil.
Seperti bagaimana beliau selalu menyebut namaku saat berdiskusi di kelas, bahkan ketika mahasiswa lain memberikan jawaban yang lebih menonjol.
Atau bagaimana beliau terkadang melempar senyum singkat yang tidak 3diberikan kepada mahasiswa lain.
Atau bahkan ketika beliau memuji hasil tugas analisisku secara spesifik, bukan hanya secara umum.
Semua itu membuat hatiku berdebar, tapi juga dipenuhi kebingungan.
Suatu hari, saat aku dan beberapa teman sedang mengerjakan tugas kelompok di lorong fakultas, Pak Doni lewat. Ia berhenti sejenak, lalu berkata sambil menatapku,
“Shella, kamu yang pimpin kelompok ya? Saya percaya kamu bisa urus semuanya dengan baik.”
Teman-temanku langsung menggoda, “Wah, Shella spesial nih!”
Aku hanya tersenyum malu, mencoba menutupi detak jantungku yang seolah memukul keras dari dalam dada.
Malam itu, aku menatap langit Bandung yang mendung dari balkon kamar kosku. Pikiran tentang beliau tidak pernah berhenti berputar. Aku bahkan pernah bermimpi tentang beliau — bukan mimpi romantis atau berlebihan, hanya mimpi sederhana: kami duduk berdiskusi di sebuah kafe, tertawa, dan membicarakan masa depan.
Mimpi itu membuatku terbangun dengan rasa rindu yang aneh.
Aku tahu, aku harus melakukan sesuatu. Aku tidak bisa terus begini, hidup dalam keraguan, berharap pada kemungkinan yang belum tentu ada.
Lalu aku memutuskan untuk berkonsultasi dengan dosen wali — bukan tentang perasaanku, tentu saja, tapi tentang pilihan magang semester depan. Tujuannya sederhana: alihkan fokus. Sibukkan diriku. Alihkan pikiranku dari Pak Doni.
Namun… semesta seolah punya rencana sendiri.
Ternyata, dosen pembimbing magang yang ditugaskan padaku… adalah Pak Doni.
Saat mendengar pengumuman itu, aku membeku. Seolah alam semesta sedang mempermainkanku — atau justru memberiku jalan untuk semakin dekat?
Entahlah.
Pertemuan pertama untuk membahas magang dilakukan di ruang dosen. Aku datang lebih awal, dan seperti biasa, beliau menyambut dengan senyum yang tenang. Kami berbicara cukup lama — tidak hanya tentang tempat magang, tapi juga minatku dalam bidang pemasaran, brand development, dan rencana masa depanku.
Lalu, tiba-tiba beliau berkata,
“Kamu punya potensi besar, Shella. Saya rasa kamu akan sukses di bidang ini. Tapi kamu harus hati-hati… karena kamu punya kelembutan yang bisa disalahartikan orang.”
Aku menatapnya, mencoba membaca maksud ucapannya. Tapi beliau hanya tersenyum samar.
Aku ingin bertanya balik, “Apa maksudnya?” tapi kata-kataku tertahan di tenggorokan.
Setelah pertemuan itu, aku merasa jiwaku campur aduk. Apakah itu peringatan halus agar aku menjaga jarak? Atau… justru bentuk perhatian yang tak bisa ia ungkapkan secara langsung?
Aku mulai menulis lagi di jurnal:
“Kenapa kamu bilang begitu, Pak? Apakah Anda tahu perasaan ini? Ataukah saya hanya sedang mengada-ada?”
Beberapa minggu kemudian, hal yang tak kuharapkan terjadi: desas-desus mulai terdengar.
Aku mendengar beberapa mahasiswa lain bergosip soal “kedekatan” antara aku dan Pak Doni. Ada yang berkata, “Kayaknya Shella deh yang paling deket sama Pak Doni…” atau “Shella selalu dapat perhatian lebih.” Bahkan ada yang menuduh secara langsung: “Jangan-jangan Shella suka sama dosen ya?”
Saat itu, dunia seolah runtuh.
Aku tidak pernah berniat menjadi bahan omongan. Aku tidak ingin membuat beliau terseret dalam masalah hanya karena perasaanku. Aku juga tak ingin menjadi bahan lelucon atau cemburu orang lain. Ini bukan seperti yang mereka pikirkan. Mereka tidak tahu betapa sulitnya menahan diri… menahan perasaan yang tak boleh tumbuh.
Malam itu, aku menangis diam-diam di bawah selimut. Air mataku jatuh bukan hanya karena malu — tapi karena aku merasa lemah. Terlalu lemah untuk mengendalikan perasaan sendiri.
Sejak saat itu, aku kembali menjaga jarak. Lebih dari sebelumnya.
Aku tidak lagi aktif saat beliau mengajar. Aku menghindari kontak mata. Bahkan saat bertemu di koridor, aku hanya tersenyum sekilas lalu menunduk. Dan Pak Doni… tampak menyadarinya.
Ada satu momen setelah kelas berakhir, beliau memanggilku singkat,
“Shella… kamu kenapa akhir-akhir ini?”
Aku hanya menjawab pendek, “Nggak apa-apa, Pak. Lagi fokus ke magang aja.”
Beliau menatapku lama, seolah ingin mengatakan sesuatu… tapi akhirnya hanya mengangguk pelan.
“Oke. Semangat, ya.”
Dan sejak saat itu… kami sama-sama diam.