Bagian 2: Lembur yang Terlalu Larut
Lembur bukan hal baru di kantor mereka. Tapi malam itu… berbeda.
Divisi Reza baru saja menang tender besar. Dan deadline mendekat.
Seluruh tim diminta lembur. Tapi hanya Kirana yang tetap tinggal setelah pukul 10 malam.
“Nggak pulang?” tanya Reza, mampir ke kubikel Kirana sambil membawa dua kopi panas.
“Suami lagi ke Kalimantan. Dan di rumah nggak ada siapa-siapa.”
“Kebetulan, saya juga belum pengin pulang.”
Ia menatap Reza. Tatapannya tenang. Tapi dalam.
Dan Reza… terlalu lama menahan diri dari melihat mata wanita yang sudah lama dia perhatikan diam-diam.
Mereka duduk di sofa ruang kreatif. Lampu ruangan dimatikan separuh.
Cahaya laptop dan kopi panas jadi satu-satunya penerang.
Kirana menyandarkan tubuhnya ke sofa. Bajunya sedikit longgar, dan satu kancing atasnya terbuka — bukan disengaja, tapi membuat malam terasa lebih hangat dari seharusnya.
“Kamu tahu,” katanya pelan, “dulu aku selalu percaya perselingkuhan itu najis.”
Reza diam. Jantungnya berdegup.
“Tapi sekarang… aku mulai ngerti kenapa orang bisa nyasar ke sana.”
Reza menatapnya. Lama.
Lalu menggeser duduknya, sedikit lebih dekat.
“Kirana…”
“Tenang,” dia tersenyum. “Aku belum gila. Tapi kadang, kita nggak butuh alasan buat nyaman, kan?”
Hening.
Angin AC berdesir pelan. Suara lalu lintas di luar gedung makin sunyi.
Dan untuk pertama kalinya, Reza menyentuh tangannya.
Lembut. Ragu-ragu. Tapi tidak ditarik.
Kirana membiarkannya. Bahkan menggenggam balik.
“Kita belum melakukan apa-apa…” bisik Reza.
“Tapi hatiku… udah jalan lebih dulu.”
Malam itu mereka tidak berciuman. Tidak saling membuka pakaian.Tapi… mereka tidak pulang sebagai orang yang sama.
Karena setelah genggaman itu —
tak ada lagi batas antara profesional dan perasaan.