Bagian II : Sentuhan Malam Suster Gita

Bab 2: Malam-Malam Lain Bersamanya

Tiga malam berlalu sejak Gita mengatakan, “Cepat sembuh.” Tapi Adit justru merasa… dia tidak ingin sembuh terlalu cepat.

Setiap malam, Gita datang tepat sebelum tengah malam. Membawa obat, mengganti perban, dan kadang hanya duduk di tepi ranjang sambil bercerita. Tentang keluarganya, pekerjaannya, hidupnya yang diam-diam penuh kesepian.

Adit mendengarkan semuanya. Dan di matanya, Gita semakin nyata—bukan lagi sekadar suster cantik, tapi wanita dewasa yang menyimpan luka, kerinduan, dan keraguan.

Malam keempat, suasananya berbeda.

Gita datang lebih diam dari biasanya. Matanya sayu, suaranya pelan. Ia duduk di kursi dekat ranjang, lalu berkata:

“Mas Adit… kamu pernah merasa pengin menyerah?”

Adit tertegun. “Kenapa kamu tanya begitu?”

“Aku capek kadang-kadang,” jawabnya pelan. “Bukan cuma badan… tapi hati.”

Ada jeda. Hening yang menusuk.

“Aku kerja malam terus, ngurusin pasien, pura-pura kuat. Tapi tiap pulang, rumah sepi. Tempat tidur dingin. Handphone cuma isinya notifikasi dari perawat shift pagi. Nggak ada yang nanyain aku makan apa, tidur cukup atau nggak. Dan entah kenapa… aku iri sama kamu.”

“Iri?” Adit heran.

“Karena kamu tidur di sini… dan aku yang jagain kamu.”

Gita menunduk. Wajahnya tak bisa berbohong. Adit ingin menggenggam tangannya, tapi dia hanya bisa berkata pelan, “Aku mungkin pasien, Gi… tapi tiap malam kamu datang, aku gak ngerasa sakit sama sekali.”

Kalimat itu menggantung di udara. Dan Gita… tersenyum. Kali ini senyumnya rapuh, tapi tulus. Ia berdiri, lalu duduk di tepi ranjang. Tangannya menyentuh wajah Adit, pelan… gemetar.

“Aku tahu ini salah,” katanya, “tapi aku pengin ngerasain hangat juga… walau cuma sebentar.”

Gita menunduk perlahan… dan mencium dahi Adit.

Sebuah ciuman yang sederhana… tapi membuat detak jantung Adit melesat tak karuan.

“Jangan jatuh cinta sama aku, Dit,” bisiknya. “Aku bukan orang yang gampang dicintai.”

Adit menatapnya. Lama. “Tapi kamu orang yang gampang dirindukan.”

Gita terdiam. Dan untuk pertama kalinya, dia tak punya jawaban.

Malam itu, Gita tetap di kamar lebih lama dari biasanya. Tidak untuk menyentuh atau mengisi hasrat. Tapi hanya untuk duduk… di sisi ranjang, menggenggam tangan Adit, dan merasakan kehangatan yang sudah lama dia lupakan.

Di luar, hujan turun lagi. Tapi di dalam ruang 207… malam terasa lebih tenang daripada biasanya.

Scroll to Top