
(Bagian 1: Awal Sebuah Kekaguman)
Namaku Shella. Aku adalah seorang mahasiswi jurusan Bisnis di salah satu universitas swasta ternama di Bandung. Sejak pertama kali menjejakkan kaki di kampus ini, aku punya satu tujuan: belajar dengan sungguh-sungguh, lulus tepat waktu, dan membangun karier yang baik. Tapi siapa sangka, di tengah-tengah perjalanan akademikku, aku justru menemukan sesuatu yang tak pernah kuduga — perasaan yang tumbuh diam-diam, terhadap seseorang yang seharusnya hanya jadi sosok pengajar di kelas: dosenku sendiri.
Namanya Pak Doni.
Sejujurnya, hari pertama aku melihat beliau masuk ke ruang kelas, seluruh isi kelas langsung bergemuruh. Sosoknya mencuri perhatian siapa pun — tinggi, rapi, berwibawa, dan ya… tampan. Cara berpakaiannya selalu bersih dan elegan, rambutnya tertata rapi, dan senyum tipis yang sering terbit di wajahnya bisa bikin waktu berhenti sejenak.
Tapi bukan itu saja. Yang membuatku benar-benar tertarik padanya adalah bagaimana ia membawa dirinya. Cara beliau mengajar… luar biasa. Ia bukan tipe dosen yang kaku atau terlalu formal. Ia membawa materi perkuliahan dengan gaya yang mengalir, santai tapi tetap berbobot. Ia sering menyelipkan kisah-kisah nyata dari dunia bisnis, berbagi pengalaman pribadi, bahkan memberikan motivasi kecil di sela-sela kuliah.
Setiap kali beliau berbicara, aku merasa seperti mendengar kisah seorang mentor, bukan sekadar dosen. Ada ketenangan dalam suaranya, dan ketulusan dalam setiap nasihatnya.
Aku mulai memperhatikan beliau lebih dari sekadar dosen. Aku menyadari, aku menanti hari di mana beliau mengajar. Aku mulai menyiapkan diri lebih rapi saat tahu ada kelas dengan Pak Doni. Bahkan, aku merasa senang setiap kali beliau menyebut namaku saat memanggil daftar hadir atau menjawab pertanyaanku.
Aku tahu, ini salah. Atau paling tidak — rumit. Hubungan antara dosen dan mahasiswi harus dijaga dalam koridor profesional. Tapi aku tak bisa mengelak dari apa yang kurasakan. Perasaan itu datang begitu saja, tumbuh tanpa perintah, dan berkembang tanpa bisa aku hentikan.
Puncaknya, suatu hari setelah kelas selesai, aku memberanikan diri untuk bertanya secara pribadi soal tugas presentasi. Kupikir, itu hanya akan jadi obrolan akademik singkat. Tapi ternyata, obrolan itu berlanjut. Ia tidak hanya menjawab pertanyaanku dengan sabar, tapi juga bertanya balik tentang pendapatku terhadap materi tersebut. Ia mendengarkan. Ia tertarik dengan apa yang kupikirkan.
Dan di situ… aku merasa dilihat. Didengar. Dihargai.
Sejak saat itu, aku mulai lebih sering berdiskusi dengan beliau. Tentu, semuanya masih dalam batasan akademik. Tapi aku bisa merasakan bahwa beliau memperhatikan. Tak jarang, beliau mengingat nama-nama mahasiswa secara pribadi — termasuk namaku. Ia sering mengangkatku sebagai contoh ketika menjelaskan tugas yang dikerjakan dengan baik.
Ada satu momen yang paling membekas di ingatanku. Saat itu aku tampak lesu di kelas, karena semalam sebelumnya aku harus menjaga ibuku yang sedang sakit. Seusai kelas, Pak Doni menghampiriku pelan dan bertanya, “Kamu baik-baik saja, Shella?”
Itu mungkin kalimat paling sederhana yang pernah kudengar. Tapi cara beliau mengatakannya — lembut, hangat, dan tulus — membuatku ingin menangis. Tak banyak orang yang peduli seperti itu. Dan saat beliau mengatakan itu, aku merasa ada seseorang yang benar-benar melihat keberadaanku… bukan hanya sebagai mahasiswa, tapi sebagai manusia.
Perasaan ini perlahan berubah menjadi sesuatu yang lebih dalam.
Aku mulai bertanya-tanya — apakah mungkin seorang dosen bisa menyukai mahasiswinya? Apakah mungkin apa yang kurasakan ini bukan cinta sepihak? Tapi setiap kali pikiran itu muncul, aku selalu menahan diriku. Aku tak ingin hubungan ini melewati batas. Aku menghormati beliau. Aku tahu beliau adalah sosok profesional, dan aku tak ingin menjadi beban atau menyulitkan posisinya.
Namun tetap saja… aku tidak bisa membohongi perasaanku.
Aku mulai menulis jurnal pribadi, hanya untuk menumpahkan apa yang kurasakan. Setiap kalimat yang ia ucapkan, senyuman yang ia berikan, bahkan candaan kecil di kelas — semua terasa seperti kode rahasia yang hanya aku pahami. Tapi benarkah itu semua nyata? Atau hanya perasaanku saja yang terlalu berharap?