(Bagian 4: Antara Melepas dan Mengikhlaskan)
Diam. Sunyi. Sepi.
Itulah yang menyelimuti hubungan antara aku dan Pak Doni sejak hari itu. Tak ada lagi percakapan hangat di sela kelas, tak ada lagi diskusi pribadi tentang proyek, bahkan senyum-senyum singkat yang dulu terasa istimewa pun perlahan menghilang.
Kami menjadi asing dalam keakraban yang dulu pernah ada.
Aku tahu… ini salah satunya adalah keputusanku sendiri. Aku yang memilih menjauh. Aku yang memutuskan menjaga jarak, demi menjaga nama baik beliau, demi menghentikan gosip yang semakin liar, dan demi menyelamatkan diriku sendiri dari rasa yang tak tahu akan berlabuh ke mana.
Tapi menghindari bukan berarti menghilangkan.
Setiap kali melihat beliau berdiri di depan kelas, menjelaskan materi seperti biasa, aku merasa ada luka kecil di hatiku yang terbuka kembali. Perasaan kehilangan yang tidak bisa dijelaskan. Seperti kehilangan sesuatu yang bahkan belum pernah benar-benar dimiliki.
Teman-temanku tak tahu. Mereka pikir aku hanya sedang sibuk dengan magang atau skripsi. Tapi di balik layar semua kesibukan itu, aku sedang berperang dengan diriku sendiri. Perang antara hati yang ingin bertahan, dan kepala yang memaksaku untuk melepaskan.
Aku bahkan pernah berdoa diam-diam di malam hari:
“Tuhan, kalau perasaan ini salah, tolong ambil. Kalau ini hanya hayalanku, tolong padamkan. Tapi jika ini ada makna di baliknya, tunjukkan jalannya.”
Namun tidak ada jawaban. Yang ada hanya kenyataan bahwa aku dan dia kini hanya sebatas dosen dan mahasiswa — dan mungkin, memang seharusnya begitu.
Sampai akhirnya, tibalah hari presentasi akhir untuk proyek magang. Aku dan kelompokku sudah mempersiapkan segala sesuatunya dengan maksimal. Dan seperti yang telah dijadwalkan, yang akan menilai presentasi kami adalah… Pak Doni.
Rasa gugupku malam sebelumnya bukan hanya karena ingin tampil baik. Tapi karena aku tahu… setelah hari itu, mungkin aku takkan punya alasan lagi untuk berbicara dengannya. Takkan ada kelas. Takkan ada proyek. Takkan ada momen apa pun yang membuat kami berada dalam satu ruangan lagi.
Hari presentasi pun tiba.
Aku berdiri di depan ruangan, menjelaskan hasil kerja kelompok dengan suara setenang mungkin. Aku menjaga kontak mata dengan para dosen penilai, termasuk Pak Doni, tapi tidak terlalu lama. Aku takut akan rapuh di tengah-tengah kata. Aku takut matanya menembus benteng yang sudah susah payah aku bangun.
Selesai presentasi, Pak Doni memberikan komentar. Komentarnya objektif, sopan, dan membangun. Tapi saat ia selesai bicara, ia menatapku sebentar. Tatapan yang tak bisa aku pahami, namun terasa seperti… salam perpisahan diam-diam.
Aku hanya tersenyum kecil. Dan itulah akhir dari semuanya.
Hari-hari berikutnya kulalui seperti zombie. Kuliah tetap berjalan, magang tetap dilanjutkan, tapi hatiku terasa… kosong. Seperti ada lubang besar di dalam diri yang tak bisa diisi dengan apa pun.
Aku mulai lebih banyak menghabiskan waktu sendiri. Mendengarkan lagu-lagu mellow, menonton film yang seharusnya bisa menghibur, tapi malah membuatku menangis. Kadang, aku merasa seperti tokoh utama dalam kisah cinta yang tidak berakhir bahagia.
Namun suatu malam, saat aku membaca kembali semua isi jurnal yang pernah kutulis tentang beliau, aku tiba-tiba berhenti pada satu halaman. Di situ aku menulis:
“Aku tidak tahu apakah dia pernah menyadari perasaanku. Tapi aku tahu, aku bersyukur pernah merasakannya.”
Dan saat membaca kalimat itu, aku terdiam.
Ya, mungkin aku memang tidak akan pernah tahu bagaimana perasaan Pak Doni yang sebenarnya. Mungkin, hubungan kami memang tidak akan pernah melangkah ke mana-mana. Tapi… bukan berarti semuanya sia-sia.
Dari perasaan ini, aku belajar banyak.
Aku belajar bagaimana rasanya mengagumi seseorang secara tulus. Aku belajar tentang batas, tentang kendali, tentang menjaga nama baik orang yang kita cintai — bahkan jika itu berarti harus menahan diri sendiri dari mengungkapkan semuanya. Aku belajar bahwa cinta tidak selalu harus dimiliki. Kadang, cinta hanya perlu dikenang, dihargai, dan dijadikan bagian dari perjalanan hidup.
Beberapa minggu kemudian, aku bertemu lagi dengan Pak Doni — kali ini di acara kampus, bukan dalam konteks perkuliahan.
Kami bertukar senyum singkat. Lalu beliau berkata,
“Semoga kamu tetap semangat ya, Shella. Saya yakin kamu akan sukses.”
Aku mengangguk, dengan senyum yang mengandung seribu rasa.
“Terima kasih, Pak. Terima kasih… untuk semuanya.”
Dan itu adalah kata terakhir yang kami ucapkan secara pribadi.