Bagian II: AKU MAHASISWI BANDUNG YANG MENYUKAI DOSENKU

(Bagian 2: Di Antara Logika dan Perasaan)

Semakin hari, perasaan ini semakin sulit untuk kusembunyikan — bahkan dari diriku sendiri.

Setiap kali masuk kelas di mana Pak Doni mengajar, aku bisa merasakan jantungku berdetak lebih cepat dari biasanya. Setiap detil kecil tentang dirinya terekam jelas di ingatanku: nada suaranya yang tenang, cara ia berdiri sambil menjelaskan poin-poin penting, dan cara matanya menatap kelas — kadang hanya sekilas, tapi bagiku seolah menembus jauh ke dalam pikiranku.

Aku tahu ini bukan hal yang biasa. Aku pernah mengidolakan artis, menyukai karakter fiksi, bahkan sempat mengalami cinta monyet saat SMA. Tapi perasaan yang satu ini… berbeda. Ini bukan sekadar kekaguman remaja. Ada rasa kagum yang dalam, hormat, dan… rindu.

Iya, rindu. Bahkan ketika kami tak bertemu hanya karena satu minggu libur fakultas, aku merasa ada yang hilang.

Namun justru karena itulah aku mulai diliputi konflik batin. Aku mulai bertanya pada diri sendiri: “Apa yang sedang kamu lakukan, Shella?” Aku adalah seorang mahasiswa. Ia adalah dosenku. Ada batas yang seharusnya tidak bisa dan tidak boleh kulewati. Tidak peduli seberapa besar perasaan yang tumbuh di dalam hati ini.

Tapi perasaan tak mengenal logika, bukan?

Aku mencoba menjaga jarak. Sungguh, aku pernah mencobanya. Aku mulai duduk di belakang kelas, menghindari kontak mata, bahkan berusaha untuk tidak menjadi terlalu aktif ketika beliau mengajar. Tapi semua itu justru membuatku tersiksa. Aku merasa kehilangan koneksi yang sebelumnya mulai terbentuk. Ada kekosongan yang tiba-tiba muncul — dan itu menyakitkan.

Ironisnya, ketika aku berusaha menjauh, Pak Doni justru semakin terlihat peduli. Ia sempat menghampiriku setelah kelas dan bertanya, “Kamu jarang aktif akhir-akhir ini. Ada yang salah?”
Aku hanya bisa tersenyum kecil dan menjawab, “Lagi kurang fokus aja, Pak.”
Padahal yang sebenarnya terjadi: aku terlalu fokus… pada beliau.

Malam-malamku penuh dengan pikiran yang tak menentu. Aku menulis semua dalam jurnal: “Kenapa aku harus menyukainya? Kenapa bukan orang lain?” Tapi setiap kali aku mencoba mencari jawaban, hatiku tetap menunjuk satu nama: Doni.

Aku mulai sering merenung di sudut kafe kampus, hanya dengan kopi dingin dan buku catatan di tangan. Teman-temanku mungkin mengira aku sedang sibuk belajar atau menulis tugas. Padahal… aku sedang mencari alasan untuk membenarkan perasaanku sendiri. Mencari pembenaran atas sesuatu yang mungkin tak akan pernah mendapat jawaban.

Lalu suatu hari, sebuah kejadian kecil membuat perasaanku semakin kacau. Saat itu, beliau mengadakan sesi tambahan untuk membahas proyek akhir mata kuliah. Aku datang lebih awal dari yang lain, dan ketika masuk ruangan, ternyata hanya ada aku dan beliau.

Awkward. Tapi juga… menegangkan.

Kami berbicara sebentar tentang tugas, lalu topik melebar ke hal-hal yang lebih santai: soal dunia kerja, bisnis, dan passion. Lalu tiba-tiba, beliau berkata,
“Kamu punya potensi besar, Shella. Kamu terlihat tekun dan punya pemikiran yang dewasa.”
Aku diam. Lalu tersenyum pelan. “Terima kasih, Pak. Saya senang Bapak bisa melihat itu.”
Lalu ada jeda. Hening sejenak. Dan beliau menatapku.

Tatapan itu bukan tatapan biasa. Tidak seperti biasanya. Seolah ada sesuatu yang ingin disampaikan tapi tertahan.

Aku pun langsung mengalihkan pandangan. Aku takut berharap. Takut salah mengartikan.

Sejak pertemuan itu, aku jadi makin bingung. Apakah beliau tahu perasaanku? Apakah beliau merasakannya juga? Atau itu hanya anganku saja yang terlalu jauh?

Aku tahu, sebagai dosen, beliau punya tanggung jawab besar untuk menjaga profesionalitas. Aku tahu beliau tidak akan pernah melangkah lebih dari batas. Tapi tetap saja… bayangan tentangnya selalu ada di pikiranku. Ia mengisi ruang kosong dalam hidupku yang sebelumnya hanya terisi oleh buku, tugas, dan ambisi akademik.

Scroll to Top