Bab 7 – Lelah yang Tak Bisa Dihapus
Pagi harinya, aku bangun lebih cepat dari biasanya.
Nadya masih tertidur.
Sementara aku duduk di ruang makan, diam, melihat ke arah dapur — kosong.
Maya tidak di sana.
Aku berjalan ke kamarnya…
kosong.
Tempat tidur rapi. Lemari terbuka. Laci kosong.
Dan di atas meja kecil di samping tempat tidur, ada satu benda:
Seragam kerjanya yang dilipat rapi, dan secarik kertas.
Pak Arya,
Saya gak tahu apa saya salah, atau justru terlalu jujur dengan perasaan saya sendiri.
Tapi saya tahu satu hal:
Kalau saya tetap di rumah ini setelah semalam… saya bukan lagi Maya yang dulu.
Saya tidak pergi karena menyesal.
Saya pergi karena tahu: saya sudah terlalu dalam.
Dan saya tidak mau jadi alasan Bapak jatuh terlalu jauh.
Terima kasih… karena pernah melihat saya bukan sebagai pembantu. Tapi sebagai perempuan.
– Maya
Aku duduk kembali di ruang tamu.
Pagi itu, rumah begitu sepi. Tapi bukan sepi yang biasa.
Sepi yang menggigit. Sepi yang menyesakkan. Sepi yang meninggalkan aroma tubuh yang tak akan pernah lagi kutemui.
Nadya tidak tahu apa-apa.
Dan aku tidak pernah mencari Maya.
Karena aku tahu… jika aku menemukannya, aku tidak akan sanggup melepaskannya lagi.
Dan itu akan jadi akhir segalanya.
Tapi malam-malam berikutnya…
di antara denting sendok, suara TV, dan ranjang yang terasa terlalu luas…
aku selalu mengingat satu hal:Maya bukan pembantu. Maya adalah godaan yang hadir dalam diam.
Dan diamnya… meninggalkan luka yang paling dalam.