Bagian VI: Dalam Diam Aku Menginginkannya

Bab 6 – Saat Nafas Menyentuh Dinding Batas

Malam itu…
angin terasa lebih hangat dari biasanya.
Dan rumah kami — rumah besar berlantai dua — terasa kecil, sempit, dan terlalu sunyi.

Nadya tertidur cepat. Ia kelelahan setelah rapat panjang.

Aku keluar kamar. Langkahku pelan. Tapi hatiku — ribut.

Dapur sepi.
Lampu menyala setengah.
Tapi Maya sudah ada di sana. Duduk diam. Punggungnya tegak, dasternya jatuh mengikuti lekuk tubuhnya.

Ia tidak terkejut melihatku.
Bahkan, seperti… ia tahu aku akan datang.

Aku berdiri beberapa meter darinya.
Tak bicara. Tak bergerak.
Hanya… menatap.
Dan dia membiarkanku menatap.

“Kamu gak takut aku makin terjerat sama kamu?” tanyaku pelan.

Ia menjawab tanpa menoleh, suaranya nyaris bisikan:

“Saya juga makin terjerat, Pak… tapi saya gak lari.”

Aku duduk di sampingnya.

Dan malam itu,
kami bicara tanpa suara.
Hanya nafas.
Hanya detak jantung.
Hanya tubuh yang tak bersentuhan… tapi terlalu dekat untuk disebut tak saling merasa.

Aku mengangkat tangannya. Menyentuh punggung jemarinya.
Ia tidak menolak. Tapi juga tidak membalas.
Ia hanya membiarkanku menyentuh…
seperti seseorang yang tahu: yang akan terjadi bukan soal siapa yang memulai, tapi siapa yang siap hancur.

Lalu dia berdiri.
Pelan.

“Kalau malam ini terjadi, Pak…” katanya, tanpa menatap,
“…besok pagi kita bukan orang yang sama lagi.”

Aku berdiri juga.

Dan dalam diam itu, tubuh kami akhirnya menyatu.
Tanpa kata cinta. Tanpa janji.
Hanya keinginan yang ditahan terlalu lama,
meledak dalam hening.

Maya bukan lugu.
Dia tahu betul apa yang dia lakukan.Dan malam itu —
bukan aku yang menaklukkan Maya. Tapi Maya yang menaklukkan hatiku, tanpa harus mengangkat suara.

Scroll to Top