Bab 5 – Senyum yang Menyimpan Rahasia
Nadya pulang hari Minggu sore.
Wajahnya lelah. Tapi seperti biasa, ia tetap tampil rapi — rambut tersisir, parfum mahal, dan senyum sosial yang sempurna.
“Kamu di rumah aja, ya? Gak jalan sama siapa-siapa?”
“Nggak,” jawabku, datar.
“Rumah rapi… Maya kerja bagus.”
Maya muncul di belakangnya, menyambut dengan tenang.
“Selamat datang, Bu…”
“Terima kasih, Maya. Kamu bantu banget.”
Dan saat itu, aku melihatnya lagi.
Senyum itu. Senyum kecil yang hanya dia dan aku tahu artinya.
Beberapa hari berlalu.
Maya kembali ke rutinitasnya: mencuci, menyapu, membuat sarapan, membersihkan kamar.
Tapi kini setiap geraknya… mengandung sesuatu yang hanya bisa dirasakan oleh orang yang sudah pernah berdiri di tepi jurang bersamanya.
Suatu malam, Nadya tertidur lebih awal.
Dan aku keluar kamar, seperti biasa.
Entah kenapa — atau entah memang sengaja — Maya belum tidur.
Dia menyeka meja makan dengan kain basah.
Lampu dapur kuning redup.
Dia mengenakan daster putih tipis. Rambutnya terurai lembap.
“Kamu belum tidur?”
“Belum, Pak…”
“Kenapa?”
“Tunggu kamar Ibu gelap dulu.”
Kalimatnya mengguncang.
Dia tidak mengatakan apa-apa lagi. Tidak menoleh. Tidak tersenyum.
Tapi dia tahu… aku terpaku.
“Kenapa harus tunggu gelap?”
“Karena kalau masih ada cahaya… kita bisa lihat dosa kita.”
Aku menatapnya. Lama.
Dan kali ini — aku yang menunduk.
Karena dia benar.
Dan aku tahu: Maya yang lugu itu… bukan lagi sekadar pembantu rumah tangga.
Dia tahu kekuatannya.
Dan kekuatan itu… bukan dari tubuh, tapi dari kendali dalam diamnya.