Bagian III: Dalam Diam Aku Menginginkannya

Bab 3 – Aroma Tubuh dan Suara yang Tak Bersuara

Hari kedua Nadya di luar kota.

Aku bangun siang. Saat turun ke dapur, Maya sudah selesai memasak.
Rambutnya diikat ke atas. Baju rumah yang ia kenakan sederhana — kaos longgar dan celana pendek kain. Tapi entah kenapa…
justru kesederhanaannya itulah yang menampar pikiranku.

“Saya bikin nasi goreng, Pak. Gak pedes.”
“Kamu masak sendiri?”
“Iya. Saya bangun jam 5 tadi.”

Dia menyiapkan sendok. Duduk di meja makan kecil — seperti biasa.
Tapi pagi itu, kami makan dalam satu ruang yang terasa sempit oleh hal yang tak terlihat.

Aku mencuri pandang saat ia menunduk.
Lehernya bersih. Kulitnya halus. Dan saat ia menyentuh gelas, aku memperhatikan jari-jarinya.

Terlalu lama. Terlalu jelas.

Malamnya, aku keluar kamar.
Tidak bisa tidur.

Lampu ruang tamu sudah mati, tapi dari arah dapur… ada cahaya temaram.
Maya sedang menyapu lantai.
Memakai daster tipis warna biru. Tanpa suara.
Tapi yang membuat napasku tercekat adalah… wangi tubuhnya.

Bukan parfum. Tapi aroma alami. Sabun lembut. Keringat tipis. Napas pelan.
Aroma yang hanya bisa kau kenali jika kau berdiri terlalu dekat. Dan aku berdiri… terlalu dekat.

“Maya…”
“Iya, Pak?”
“Kenapa belum tidur?”
“Belum ngantuk…”

Ia menoleh. Matanya redup. Tapi bukan karena lelah.

“Kalau saya bilang… saya suka kamu, kamu marah?”

Ia diam.
Tidak kaget. Tidak mundur.
Dia hanya menatapku — dan itu jauh lebih mengguncang daripada kata apa pun.

“Saya gak marah, Pak. Tapi saya gak bisa jawab juga.”

Dia lalu menunduk… dan tersenyum.
Senyum kecil. Tapi jelas.

Dia tahu.
Dan malam itu, aku tahu…
perempuan lugu ini menyimpan sesuatu yang lebih dari sekadar patuh.

Scroll to Top