Bagian 7: Optimisme Liar—Bebas Bukan Harus Bersama
Cinta kami tidak tumbuh dalam ruang yang benar.
Tapi ia tumbuh dengan akar yang paling jujur.
Kami tidak pernah tidur di ranjang yang sama.
Tidak pernah merayakan ulang tahun bersama.
Tidak pernah menggandeng tangan di jalan ramai.
Tapi kami…
pernah saling menyelamatkan dari kehampaan yang tidak dimengerti siapa pun.
“Kalau kamu bisa ulang semuanya, apa kamu tetap mau kenal aku?”
Itu pertanyaan yang lama mengganggu pikiranku.
Dan jawaban yang muncul tidak datang dari mulut.
Datang dari hati yang menolak melupakan.
Iya.
Aku tetap mau kenal kamu.
Meski tahu akhirnya kita tidak akan bersama.
Karena kamu pernah jadi alasan aku percaya,
bahwa cinta tidak harus memiliki untuk bisa membebaskan.
Kita terlalu sering diajari:
Cinta harus berujung pada pernikahan.
Cinta harus dilindungi agama, status, dan legalitas.
Tapi cinta sejati, kadang justru datang untuk menggugurkan semua itu.
Datang sebagai bentuk pengakuan bahwa hati manusia… tidak pernah sepenuhnya tunduk pada aturan.
Aku kini hidup sendiri.
Dan Aruna… masih di kota ini, entah di mana.
Kami tidak saling menyapa. Tidak saling mencari.
Tapi kami tahu,
kita saling menjaga dari kejauhan yang tidak akan bisa dijelaskan kepada siapa pun.
Epilog: Kita Tak Pernah Jadi, Tapi Kita Pernah Ada
Beberapa cinta tidak untuk dimiliki.
Tapi untuk dituliskan.Dan inilah tulisanku untuk dia:
perempuan yang pernah duduk di depanku di malam hujan.
Perempuan yang memandangku seolah aku satu-satunya tempatnya bisa bernapas.