Bagian VI : SKANDAL DI TEMPAT KERJA

Bagian 6: Antara Pulang atau Pergi

Kirana duduk di pojok kamar tidur, dengan koper kecil di depannya.
Isinya hanya pakaian secukupnya dan satu buku jurnal tipis — tempat ia menuliskan tanggal, waktu, dan kenangan diam-diam bersama Reza.

Malam itu…
suaminya, Andra, duduk di ruang tengah.
Menunggu Kirana keluar dari kamar.

Ia tidak berteriak. Tidak marah. Tidak melempar barang seperti yang sering digambarkan drama televisi.

Justru sebaliknya.

“Aku udah tahu, Kirana,” ucap Andra dengan suara yang nyaris tak terdengar.
“Bukan cuma tentang hotel… tapi juga tentang caramu tersenyum belakangan ini.”

Kirana menahan napas.
Tapi air matanya jatuh juga.

“Aku bukan suami yang sempurna,” lanjut Andra, “dan mungkin aku terlalu sibuk ngejar hidup sampai lupa bahagiain kamu.”

“Tapi kamu… bisa memilih malam ini. Antara tetap jadi istriku… atau jadi wanita dari pria yang bukan milikmu.”

Hening.

Kirana berjalan keluar kamar, membawa kopernya.
Ia berdiri di depan suaminya.
Menatap lelaki yang sudah tidur bersamanya selama bertahun-tahun,
tapi akhir-akhir ini tak lagi menyentuhnya dengan rasa.

“Aku gak tahu harus bilang apa. Tapi kamu benar… aku harus memilih.”

Andra mengangguk pelan.

“Kalau kamu pergi, aku gak akan tahan kamu. Tapi kamu harus tahu…
…kalau kamu pulang, kita mulai dari awal. Tapi jangan setengah hati.”

Kirana berjalan keluar rumah malam itu.

Naik taksi.
Tujuannya tidak ke hotel. Tidak ke rumah Reza.
Tapi ke apartemen sewa harian, di mana ia bisa sendiri. Tanpa gelar “istri”. Tanpa status “selingkuhan”.

Hanya sebagai Kirana.

Dan malam itu, ia menulis surat.

✉️ Isi Surat Kirana – ditujukan untuk Reza:

Reza…

Aku tahu malam itu kita terdiam karena kita sama-sama tahu: semua ini akan berakhir.

Bukan karena kita tidak saling ingin, tapi karena dunia nyata tidak pernah adil bagi rasa yang lahir di tempat gelap.

Aku memilih pergi dari rumah. Tapi bukan untukmu. Bukan juga untuk Andra. Tapi untuk diriku sendiri.

Aku ingin tahu… apakah aku bisa hidup tanpa merasa jadi “kepunyaan” siapa-siapa.

Tapi jika suatu hari kamu berdiri di depan pintu tempat baru yang aku tinggali… dan kamu masih ingin mencintaiku — bukan sebagai pelarian, tapi sebagai pilihan…

Maka aku akan buka pintu itu.

Tapi hanya kalau kamu datang… sendiri.

Scroll to Top