Bagian 4: Hotel yang Tanpa Nama
Mereka tahu… hubungan ini salah.
Tapi justru karena itu, rasanya semakin intens, semakin menegangkan, semakin… membakar.
Beberapa minggu setelah pertemuan mereka di coworking space, Reza menyewa kamar hotel kecil,
bukan di pusat kota, bukan di hotel mewah —
tapi sebuah hotel butik di pinggiran Jakarta, tempat tak ada yang mengenal mereka.
Dia memesan dengan nama palsu.
“Pasangan suami istri dari luar kota,” kata resepsionis tersenyum ramah.
Tanpa tahu, senyuman itu menjadi restu tak resmi bagi dua orang yang sedang menyembunyikan dunia.
Pukul 19.47 malam.
Kirana datang dengan mantel cokelat muda. Rambut diurai. Wajahnya tenang… tapi matanya resah.
Seperti seseorang yang tahu ia akan jatuh lebih dalam,
tapi sudah terlalu lelah untuk bertahan di permukaan.
“Kamu yakin?” bisik Reza, menyambutnya di depan pintu kamar.
“Aku gak pernah yakin. Tapi aku tahu… aku pengin.”
Di dalam kamar…
Mereka tak langsung menyentuh.
Mereka duduk. Minum teh. Bicara soal kehidupan.
“Suamiku… dulu romantis,” ucap Kirana pelan. “Tapi sekarang kami seperti dua orang asing yang saling jaga wibawa.”
“Istriku masih baik. Tapi terlalu sibuk jadi ibu. Sampai aku lupa terakhir kali kami menyentuh tanpa jadwal.”
Mereka tak menangis. Tapi sunyi itu lebih pedih dari air mata.
“Reza,” Kirana menatap mata pria itu, “aku gak tahu akhir dari ini. Tapi selama masih bisa… aku pengin tetap di sini.”
Dan malam itu…
bukan hanya tubuh yang menyatu.
Tapi rasa bersalah, rindu, dan kebutuhan untuk merasa “hidup”.
Suara pelan napas mereka terdengar hingga pukul 2 dini hari.
Tak ada teriakan. Tak ada kata-kata vulgar.
Hanya bisikan, sentuhan yang dalam, dan dua hati yang seolah ingin tenggelam… dalam waktu yang bukan milik mereka.
Setelah selesai, mereka berbaring dalam diam.
“Besok kita tetap masuk kantor?” tanya Kirana sambil menatap langit-langit.
“Ya. Dan kita tetap pura-pura sibuk masing-masing.”
“Kamu gak takut… ada yang tahu?”
“Takut. Tapi lebih takut kehilangan kamu sekarang.”
Kirana menggenggam tangan Reza. Erat.
“Kalau nanti salah satu dari kita ketahuan… janji tetap saling kuat ya.”Reza mencium punggung tangannya.
Tak menjawab. Karena beberapa janji hanya bisa disampaikan lewat sentuhan.