Bagian IV : Aku dan Guru IPA

Bagian 4: Surat Terakhir dari Guru IPA

Hari-hari setelah perpisahan diam-diam itu… seperti hidup dalam diam.
Aku tetap masuk sekolah. Tetap mengikuti pelajaran. Tapi… ruang IPA kini terasa sunyi.
Karena tempat itu dulunya penuh getaran rahasia.
Dan kini, hanya ada papan tulis tanpa pesan tersembunyi, dan bangku kosong yang tak lagi berani kududuki paling depan.

Bu Santi tetap mengajar seperti biasa.
Tapi tidak pernah lagi menatapku. Tidak pernah lagi menyapaku.
Dan semua itu… justru membuat aku makin hancur.

Hingga suatu hari… di lokerku, aku menemukan amplop putih.

Tanpa nama.
Tanpa hiasan.
Hanya satu tulisan dengan tinta hitam:

“Untuk Ronny – dari yang selalu menahan rasa.”

Tanganku gemetar saat membukanya.
Dan di dalamnya… tulisan tangan Bu Santi.

📜 Isi Surat Bu Santi:

Ronny…

Kalau kamu membaca ini, berarti aku sudah yakin… kamu akan pergi lebih jauh dariku.

Bukan karena kamu tak mencintaiku… tapi karena kamu pantas dapat sesuatu yang lebih baik daripada aku — seorang guru yang terlalu cepat jatuh, dan terlalu lemah menahan perasaan.

Malam-malam bersamamu, pelukanmu, caramu memanggil namaku tanpa “Bu”… semua itu bukan kesalahan. Tapi juga bukan sesuatu yang bisa aku simpan selamanya.

Karena pada akhirnya… aku akan tetap jadi “guru IPA,” dan kamu akan tetap jadi “murid terakhir yang membuatku merasa hidup.”

Kalau kamu bertanya kenapa aku menahan diri… karena aku tahu: cinta yang tumbuh di ruang terlarang, tidak bisa hidup di dunia nyata.

Tapi… jika suatu saat kamu sudah bukan muridku lagi, dan kamu masih ingat siapa aku… datanglah ke rumah itu. Aku akan menunggumu.

Sampai kapan?
Sampai aku berhenti berharap. Dan itu… tidak dalam waktu dekat.

— Santi

Surat itu menamparku pelan-pelan.
Bukan karena marah…
tapi karena semua yang aku rasakan, ternyata tak pernah sendirian.

Seminggu setelah surat itu…

Ujian Nasional selesai.

Hari terakhir sekolah. Semua siswa merayakan.
Tapi aku… hanya menatap koridor lantai dua,
tempat terakhir aku melihatnya berdiri sendiri, sebelum menghilang di balik ruang guru.

Aku kembali ke rumahnya malam itu.
Tapi tidak ada siapa-siapa.
Rumahnya gelap.
Pintunya tertutup.
Dan di pegangan gerbang… hanya ada satu kertas kecil.

“Saya pergi. Untuk menenangkan diri. Tapi suratmu, Ronny… akan selalu aku simpan.”

Scroll to Top