Bagian II : Aku dan Guru IPA

Bagian 2: Bimbingan Belajar atau Sesuatu yang Lain?


Dua hari setelah kejadian di laboratorium itu, aku menerima pesan di WhatsApp.

Nomornya tidak tersimpan. Tapi aku tahu siapa pengirimnya hanya dari satu kalimat pendek:

“Besok sore kamu bisa datang ke rumah saya? Kita lanjut pembahasan materi praktikum. Tapi tenang… ini bukan hanya soal belajar.”
Bu Santi

Hatiku langsung berdegup.
Aku baca ulang kalimat terakhir berkali-kali:

“…bukan hanya soal belajar.”

Keesokan sore…

Aku datang ke rumahnya. Sebuah rumah minimalis dua lantai di daerah Dago Atas. Rapi, bersih, dengan pekarangan kecil yang ditanami bunga-bunga wangi.

Bu Santi menyambutku di depan pintu. Bukan dengan blouse dan rok seperti biasa, tapi…
dengan kaos longgar dan celana pendek di atas lutut. Rambutnya diikat ke belakang. Kacamata bacanya tergantung di leher.

“Masuk, Ronny. Jangan malu.”

Aku menelan ludah dan mengikuti. Di dalam, suasananya hangat. Wangi kopi dan aroma lilin lavender menyelimuti ruang tamu.

“Duduk di sini aja. Saya cuma tinggal ambil minum.”

Dia masuk ke dapur. Aku duduk. Tapi tak bisa tenang. Setiap suara langkahnya di lantai kayu membuat jantungku makin berdebar.

Lalu dia muncul kembali. Membawa dua gelas minuman dingin dan buku IPA.

Tapi dia tidak duduk di depanku.

Dia duduk di samping. Terlalu dekat.

Kami mulai membaca. Tapi setiap kali dia membungkuk, rambutnya jatuh ke pundakku.
Setiap kali jarinya menunjuk sesuatu di buku, tangannya menyentuh pahaku — entah sengaja atau tidak.

“Kamu ini pintar sebenarnya, Ronny,” bisiknya pelan.
“Tapi kadang… cowok seusiamu lebih suka pelajari hal lain ketimbang soal IPA, ya?”

Aku tak menjawab. Tapi dari caranya menatapku, aku tahu dia menyadari… aku sedang bergulat dengan pikiran yang tidak murni.

“Kamu tegang banget,” katanya sambil tertawa kecil.
“Apa karena… saya?”

Aku menoleh.
Mataku menatap matanya.

Dan untuk pertama kalinya, tidak ada lagi batas antara guru dan murid.
Yang ada hanya laki-laki muda yang diam-diam mengagumi…
dan wanita dewasa yang tahu dirinya diinginkan.

Tangan Bu Santi menyentuh pipiku. Lembut. Lama.
Lalu turun ke leher… dan berhenti di dada.

“Kamu yakin mau lanjut ini?” bisiknya.
“Karena kalau iya… saya gak akan tarik diri.”

Aku hanya bisa mengangguk.

Dan malam itu…
pelajaran dimulai dari buku, tapi berakhir di ranjang kamarnya yang luas, sunyi, dan penuh napas yang saling mengejar.Di bagian itu, tubuhku belajar hal-hal yang tak pernah diajarkan di kelas.
Tentang bagaimana menyentuh dengan rasa.
Tentang bagaimana membisikkan kata tanpa suara.
Dan tentang bagaimana seorang guru… bisa jadi wanita paling menggoda yang pernah aku kenal.

Scroll to Top