
Bagian 1: Awal yang Tak Biasa
Namaku Ronny, siswa kelas 12 di sebuah SMA negeri yang cukup ketat di Bandung. Usia 18 tahun, bukan anak paling pintar, tapi juga bukan murid paling nakal. Aku biasa saja. Kecuali satu hal…
Aku punya obsesi diam-diam pada guru IPA kami yang baru.
Namanya Bu Santi.
Waktu pertama kali dia masuk ke kelas dengan blouse putih ketat dan rok pensil hitam itu, semua murid cowok — bahkan yang biasanya cuek — langsung menegakkan punggung.
Rambutnya cokelat tua, lurus sebahu. Bibirnya tipis dan sering tersenyum… tapi matanya tajam.
Cara dia menjelaskan topik seperti “sistem pernapasan” atau “reproduksi manusia” seolah tak pernah terdengar membosankan — terutama karena suara lembut dan gesturnya yang selalu elegan tapi… menggoda tanpa sengaja.
Dan yang paling membuatku gelisah?
Cara dia kadang menatapku lebih lama daripada murid lain.
“Kamu suka pelajaran ini, Ronny?”
tanyanya suatu hari sambil berjalan ke bangkuku.
Aku gugup. Tapi mengangguk. “Suka, Bu.”
Dia menyender sedikit ke meja — dan untuk sesaat, aroma parfumnya memenuhi ruang antara kami.
“Kalau kamu memang suka, ayo bantu saya nanti bereskan alat lab setelah kelas. Saya butuh satu asisten.”
Aku mengangguk cepat. Dan teman-temanku langsung bersiul pelan, menggoda.
Tapi aku tidak peduli. Karena hari itu… hatiku tak tenang.
Dan mungkin — bukan cuma hatiku.
Setelah kelas selesai, aku menunggu di ruang laboratorium IPA seperti yang diminta. Suasananya sepi. Hanya bunyi kipas angin tua dan denting tabung reaksi sisa praktikum.
Lalu pintu terbuka.
Bu Santi masuk. Tanpa jas lab. Hanya mengenakan blouse tipis dan celana panjang ketat.
“Terima kasih sudah mau bantuin, Ronny.”
Aku hanya mengangguk. Tapi mataku tak bisa berhenti mencuri pandang. Garis pinggangnya, cara dia menekuk tubuh saat merapikan alat, sampai rambutnya yang tergerai ke depan saat ia menunduk.
Dan… dia melihat aku memperhatikannya.
Tapi tidak marah.
Dia hanya… tersenyum samar.
“Kamu tahu, Ronny,” katanya sambil berdiri di depanku, “kadang… guru juga manusia biasa. Bisa lelah. Bisa kesepian.”
Aku tidak tahu harus menjawab apa.
Tapi di detik berikutnya, dia menyentuh lenganku. Lembut.
Seketika, jantungku berdetak lebih cepat. Napasku tak teratur.“Jangan bilang siapa-siapa soal pertemuan ini, ya,” katanya.
“Karena kadang… beberapa rahasia harus tetap jadi rahasia.”