Bagian III : Sentuhan Malam Suster Gita

Bab 3: Mimpi yang Terbangun di Antara Dinding Rumah Sakit

Hubungan mereka tidak pernah diumumkan, tidak pernah diucapkan dengan kata “kita”—tapi juga tidak pernah benar-benar disangkal.

Semakin malam berganti, semakin sulit bagi Adit dan Gita menyembunyikan isyarat-isyarat kecil yang terbentuk di antara mereka:
Tatapan mata yang terlalu lama, senyum yang muncul di tempat dan waktu yang salah, dan sentuhan-sentuhan ‘profesional’ yang terasa terlalu pribadi.

Dan rumah sakit… meskipun dingin dan steril, tetaplah penuh mata dan telinga.

Pagi itu, saat Adit baru saja selesai sarapan, seorang suster shift pagi—Suster Reni—masuk sambil memeriksa buku kontrol.

“Mas Adit sehat ya, sekarang lebih cerah wajahnya,” katanya sambil tersenyum ramah. Tapi senyum itu tak lepas dari nuansa menggoda. Lalu, seakan tanpa sengaja, dia berkata,

“Kayaknya Suster Gita punya pasien spesial, ya. Setiap malam rajin banget ke kamar ini.”

Adit tertawa kecil, menutupi gugup yang muncul tiba-tiba. “Mungkin saya pasien paling rewel.”

“Hmm… iya, mungkin juga,” jawab Reni pelan, lalu menatap Adit tajam. “Atau mungkin kamu bukan cuma pasien buat dia.”

Diam. Tegang.

Suster Reni pergi tak lama setelah itu, meninggalkan udara yang terasa lebih berat. Adit tahu—mata mulai mengawasi.

Malam harinya, Gita datang terlambat. Wajahnya letih, tapi tetap cantik dalam balutan seragam putih dan jaket abu-abu tipis.

“Aku dengar Reni mampir ke kamarmu,” katanya sambil duduk di pinggir ranjang.

Adit mengangguk. “Dia mulai curiga.”

Gita menarik napas. “Aku gak nyangka kita bakal sejauh ini. Aku pikir… aku bisa kendalikan perasaan ini.”

“Kalau kamu mau berhenti, Gi… bilang aja. Aku gak akan nahan,” kata Adit pelan.

Tapi Gita menggeleng. “Aku gak mau berhenti. Justru itu masalahnya.”

Ia memandang ke arah pintu, memastikan tak ada orang. Lalu tanpa banyak kata, ia berbaring perlahan di sisi Adit. Tubuhnya menempel di ranjang yang sempit itu. Dada Adit hangat, tapi jantungnya berdebar tak karuan.

Malam itu, mereka tidak bicara banyak. Hanya bernapas berdampingan, saling mengingat bahwa di balik kesepian, ada pelukan yang tak mereka minta tapi akhirnya mereka temukan.

Tepat jam 03.00, sebelum suster shift pagi tiba, Gita berdiri dari ranjang.

Dia mengecup pelan bibir Adit. Kali ini bukan di dahi. Bukan sekadar ungkapan perhatian. Tapi ciuman sungguhan. Panas. Dalam. Berani.

“Kita harus lebih hati-hati,” bisiknya. “Tapi aku gak akan menjauh.”

Lalu dia pergi—meninggalkan aroma tubuhnya yang lembut di udara. Dan hati Adit yang makin sulit membedakan antara rasa nyaman… atau cinta yang tumbuh diam-diam.

Scroll to Top